SMK Hadapi Tantangan Pembelajaran-Permintaan Industri, Bisakah CSR Jadi Solusi?
- Senin, 21 April 2025
- Editor

Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024 lalu merilis data tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia pada 2024.
Per Agustus 2024 tercatat 7,47 juta orang menganggur, meskipun sebenarnya ada penurunan jumlah pengangguran dari 2023-2024. Penurunannya sebanyak 390 ribu orang.
Lulusan D4, S1, S2, dan S3 mengalami peningkatan kebekerjaan. Demikian juga bagi lulusan SD dan SMP.
Namun, berdasarkan tingkat pengangguran, lulusan SMK menyumbang tingkat pengangguran terbesar. Walaupun jumlahnya menurun dari tahun ke tahun, jumlahnya tetap menjadi mayoritas dibandingkan lulusan jenjang lainnya.
Di lapangan, fakta berkaitan hal tersebut juga ditemukan oleh Head of CSR Department PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), Fahmi Sutan Alatas.
"Yang menarik di SMK, 6% pengangguran dikontribusi dari alumni SMK. Kita melakukan survei di tahun 2015 akhirnya kita menemukan bahwa memang tantangan yang dihadapi dalam pendidikan vokasional ini justru dihadapi oleh lembaga-lembaga pendidikan swasta," jelasnya dalam sesi pelatihan Journalism Fellowship on CSR 2025 secara daring (14/4/2025) yang diselenggarakan oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) dan didukung oleh pihaknya.
Sebagai pelaku dari sisi swasta, Fahmi menemukan ada banyak siswa SMK yang tidak mau keluar dari wilayah tempat tinggalnya setelah lulus. Sementara dari sisi infrastruktur pihak Fahmi juga menemukan sekolah-sekolah vokasi tersebut memiliki keterbatasan infrastruktur yang cukup tinggi.
"Kalau dari sisi kurikulum yang dari Pemerintah menurut kami sudah cukup baik ya. Justru kesulitan dari sekolah itu untuk catch up dengan kurikulum," ujar Fahmi.
Maka dalam program yang disajikan oleh TBIG, Fahmi menyebut dihadirkan kurikulum unggulan. Ia menerangkan, disebut sebagai kurikulum unggulan karena adanya added value (nilai tambahan).
"Kita menghadirkan tenaga ahli di Palu, Sumut (Medan), di Balikpapan, di Surabaya, di Bandung, dan Pekanbaru," Fahmi merinci.
Fahmi mengatakan pihaknya mengundang 50 guru dari 31 sekolah yang bekerja sama untuk mengikuti pelatihan yang sifatnya gratis. Adapun para lulusan sekolah kerja sama juga akan disalurkan ke supply chain TBIG.
Salah satu penerima manfaat, Achmad Irfan mengaku sangat terbantu setelah mengikuti pelatihan diselenggarakan TBIG tersebut.
"Setelah lulus sekolah saya langsung diterima kerja di PT CSA yang sampai sekarang saya masih bekerja di PT tersebut," ujarnya kepada detikEdu, Sabtu (19/4/2025).
Irfan menyebut program tersebut sangat memudahkannya dalam belajar dan mencari pekerjaan karena setelah lulus sekolah langsung memperoleh pekerjaan.
"Hal itu tentu saja sangat membantu saya karena setelah lulus sekolah saya tidak bingung lagi dalam mencari pekerjaan," ungkap alumnus SMK Setia Darma Palembang tersebut.
Tantangan yang Dihadapi SMK
M Andika Prawira, guru dari SMK 11 Maret di Bekasi yang ikut serta dalam pelatihan tersebut menilai, jika melihat dari rujukan kurikulum dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, untuk jurusan teknik komputer jaringan hanya ada satu bab terkait dengan fiber optik dan hanya berupa ringkasan secara umum saja.
"Demand dari industri adalah tenaga siap pakai, sedangkan dari kurikulum hanya umumnya saja," jelas Andika dalam kesempatan yang sama.
"Makanya kami dari SMK 11 Maret melakukan penyatuan kurikulum fiber optik dari TBIG, kami masukkan dan kami perkuat di dalam kurikulum sekolah kami agar siswa setidaknya setelah lulus bisa siap pakai," kata Andika.
Rahmat, salah satu guru SMK di Sulawesi Tenggara yang tidak mengikuti program pelatihan TBIG tersebut juga memiliki persoalan pembelajaran di sekolahnya. Meskipun kurikulum dari Kementerian sudah bagus, menurutnya sekolah tempatnya mengajar membutuhkan sarana dan prasarana yang menunjang permintaan industri.
"Ditambah lagi industri di daerah kami yang relevan untuk jurusan kami (pengembangan perangkat lunak dan gim) itu masih minim. Kita harus ke kota (Kendari) untuk dapatkan industri yang sesuai dengan jurusan kami," ungkap Rahmat.
"Hanya memang kadang ada materi-materi dari kurikulum yang kadang ada dan tidak ada untuk industri tersebut, sehingga kami guru mencari referensi materi dari luar," imbuhnya.
Seorang guru SMK di Malang yang tak ingin disebutkan identitasnya menghadapi tantangan senada dengan Andika. Dalam hal ini ia pun tidak berkaitan dengan program TBIG. Ia mengaku di sekolahnya masih membutuhkan banyak sinkronisasi antara kurikulum dari Kementerian dengan kebutuhan industri.
"Biasanya di awal semester ganjil kami undang dari industri untuk melakukan sinkronisasi, jadi yang dibutuhkan di industri apa, kami menyesuaikan," ucapnya.
Namun, berbeda dengan beberapa guru di atas, Nani, guru SMK di Sulawesi Tenggara menilai kurikulum dari Kementerian sudah sesuai dengan kebutuhan industri. Terlebih dengan penerapan Kurikulum Merdeka, pembelajaran jadi lebih menitikberatkan pada keterampilan melalui peningkatan pembelajaran berbasis proyek.
Ia sendiri pernah mengajar di jurusan NKN (nautika kapal niaga) pada mata pelajaran pelayaran astronomi dan mata pelajaran meteorologi.
"Untuk jurusan NKN sendiri, setiap tahun ada banyak industri yang menerima lulusan kami. Tetapi banyak juga industri yang menerapkan persyaratan lebih daripada sekedar ijazah, misalnya harus ada sertifikat lain yang tidak dapat dikeluarkan sekolah, tetapi harus didapatkan melalui lembaga pelatihan bersertifikasi dari dinas perhubungan laut seperti BST (basic safety training) dan juga memiliki izin berlayar yaitu Buku Pelaut yang hanya dikeluarkan oleh pihak syahbandar," papar Nani.
Apa Kata Kementerian?
Pelaksana Tugas Direktur SMK Kemendikdasmen, Dr Arie Wibowo Khurniawan menyampaikan kurikulum SMK sudah fleksibel. Sebab di Kurikulum Merdeka titik tumpunya bukan pada dokumen kurikulum, melainkan kemampuan guru menerjemahkan standar kurikulum itu dengan kontekstual keadaan di lapangan.
"Ada beberapa sekolah yang gurunya mampu dan kualitas baik, mereka tidak pernah berbicara tentang kualitas hal ini. Memang sekarang ini di kami menghadapi di mana guru-guru kejuruan khususnya yang menangani program-program keahlian kejuruan ini, belum pernah dilatih sepanjang hidup dan sepanjang hayatnya. Itu ada 80% dari total seluruh guru kita," terang Arie kepada detikEdu, Sabtu (19/4/2025).
Arie menyebut ada dua alasan kenapa guru-guru SMK yang dimaksud belum pernah mengikuti pelatihan. Pertama karena tidak pernah ditugasi oleh kepala sekolahnya untuk berlatih di balai-balai vokasi milik Kemendikdasmen. Kedua, tidak ada anggaran untuk mengirimkan guru untuk berlatih.
Arie berkaca pada era Presiden Soeharto, guru kejuruan diwajibkan berlatih di balai-balai pengembangan vokasi milik pemerintah untuk meningkatkan pengetahuannya.
"Saat ini ada banyak guru-guru baru hanya mengandalkan ijazah S1," kata Arie.
"Tapi kalau sekolahnya itu baik, sekolahnya itu akan mengirimkan secara mandiri guru-guru tersebut ke industri untuk belajar, diberikan waktu untuk belajar, meng-upgrade dirinya, sehingga guru itu bisa menerjemahkan standar-standar kurikulum sesuai dengan kebutuhan industri," imbuh Arie.
"Makanya Pak Menteri menerbitkan surat edaran wajib meluangkan waktu satu hari untuk belajar," ujar Arie.
Arie menyebut memang menjadi tantangan bagi pihaknya bagaimana agar guru-guru ter-update.
"Itu sedang saya usahakan gimana caranya, apakah mendorong balai-balai ini menjadi badan layanan umum sehingga dana-dana BOS itu bisa digunakan untuk berlatih di sini dan seterusnya," jelasnya.
"Pak Menteri sudah melihat dan dia tahu memang guru-guru SMK vokasi yang produktif yang misalnya menangani keteknikan itu banyak yg belum ter-upgrade. Itu sedang kita usahakan bisa nyari dana untuk mereka bisa ter-updgrade minimal setahun sekali," ungkapnya.
Jika merujuk kembali pada pengalaman Andika, guru di Bekasi yang pihaknya bekerja sama dengan program CSR TBIG, sebenarnya apa hakikat dari CSR itu sendiri?
Hakikat CSR di Indonesia
CSR atau corporate social responsibility (CSR) seperti dijelaskan oleh Aniek Murniati, Ssos, MSAk dalam bukunya yang bertajuk Corporate Social Responsibility (CSR) dan Good Corporate Governance (GCG) adalah suatu konsep di mana perusahaan bertanggung jawab atas dampak sosial dan lingkungan yang dihasilkan oleh kegiatan bisnisnya, seperti masalah limbah; polusi; dan masalah keamanan.
Bentuk tanggung jawab yang wajib dicantumkan dalam CSR adalah satu atau beberapa kegiatan atau aktivitas yang dilakukan manajemen perusahaan sebagai wujud rasa tanggung jawabnya sebagai perusahaan kepada masyarakat sosial dan lingkungan sekitar di mana suatu perusahaan menjalankan seluruh aktivitas operasionalnya.
Sifat dari tanggung jawab tersebut adalah tidak dapat dihindari atau wajib.
Sementara, pakar public relations dan manajemen isu dan krisis komunikasi Universitas Brawijaya (UB) Maulina Pia Wulandari, PhD menerangkan, secara definisi teoritis CSR adalah komitmen sukarela perusahaan untuk berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, termasuk kesejahteraan masyarakat dan perlindungan lingkungan.
Kendati begitu, perempuan yang disapa sebagai Pia ini menerangkan CSR juga bukan semata-mata kebaikan hati atau amal sosial. CSR merupakan bagian dari strategi bisnis yang beretika dan bertanggung jawab secara sosial.
"CSR lebih tepat disebut sebagai kewajiban moral dan sosial, karena perusahaan tidak hidup di ruang hampa. Mereka mengambil sumber daya dari masyarakat dan lingkungan, maka punya tanggung jawab untuk memberi kembali," jelas Pia kepada detiKEdu pada Sabtu (19/4/2025).
Pia mengutip Porter & Kramer (2011) yang menyebut, "CSR is not philanthropy. It is a core business strategy."
Pia mengatakan CSR merupakan sekaligus strategi jangka panjang untuk membangun reputasi, kepercayaan publik, dan keberlanjutan usaha.
"CSR berbeda dengan charity atau donasi. Kalau donasi bisa bersifat spontan dan tidak berkelanjutan. CSR menuntut perencanaan, keberlanjutan, dan dampak sosial yang nyata," jelas Pia.
"Dalam konteks Indonesia, merupakan kegiatan wajib atau mandatory bagi perusahaan yang beroperasi di Indonesia khususnya untuk perusahaan yang berbadan hukum perseroan terbatas (PT) dan menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam atau yang berdampak pada lingkungan hidup," imbuhnya.
Pia menyebutkan beberapa landasan hukum utama CSR di Indonesia. Di antaranya ada Pasal 74 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 74 sendiri mengatur tentang tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), yang merupakan bentuk CSR di Indonesia.
Kemudian ada Peraturan Pemerintah (PP) No 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas yang merupakan turunan dari UU PT dan memperjelas implementasi CSR.
Juga UU terkait lainnya di antaranya UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pia mengingatkan, CSR tidak boleh berhenti pada kegiatan simbolik. Maka CSR harus mendukung keberlanjutan komunitas yang dibantu.
Lulusan doktoral The University of Newcastle ini memaparkan program CSR semestinya memberikan kapasitas kepada komunitas untuk mandiri; mendorong pertumbuhan jangka panjang, bukan ketergantungan; serta memastikan continuity dan dampak jangka panjang, bukan hanya pencitraan sesaat.
Ia melanjutkan pada dasarnya keberlanjutan CSR mencakup 3 aspek yakni profit, people, dan planet (Triple Bottom Line). Sehingga perusahaan perlu mendukung ekonomi lokal, menjaga keseimbangan ekologi, dan meningkatkan kapasitas sosial masyarakat.
"Sehingga CSR bukan hanya program yang sifatnya memberikan sesuatu tanpa memikirkan keberlanjutan dari sisi ekonomi masyarakat, kesimbangan lingkungan, dan peningkatan SDM dan kemampuan sosial masyarakat," kata Pia.
Bisakah CSR Jadi Solusi dalam Pendidikan?
Menurut Pia, program CSR dapat menjadi solusi dalam permasalahan di sektor pendidikan maupun hanya sekadar membantu/menunjang, tergantung pendekatan dan skala.
Pia memaparkan CSR dapat menjadi solusi apabila dirancang secara strategis dan kolaboratif. Dengan itu, maka CSR dapat menjadi solusi struktural dalam sektor pendidikan. Misalnya melalui beasiswa jangka panjang, pengembangan kurikulum berbasis kebutuhan industri, pelatihan guru dan fasilitas sekolah di daerah 3T, serta penyediaan teknologi pendidikan.
Sementara, CSR hanya sebagai penunjang apabila sifatnya hanya sporadis seperti membagikan alat tulis atau mengecat sekolah misalnya. Artinya dampaknya terbatas sebagai bentuk dukungan sementara.
"Menurut para ahli, CSR di bidang pendidikan menjadi penting karena investasi pendidikan adalah investasi sosial jangka panjang yang memperkuat fondasi bangsa. Maka peran CSR bisa menjadi mitra strategis pemerintah dan lembaga pendidikan," terang Pia.
Bagi suatu komunitas atau lembaga yang mendapat tawaran CSR, Pia memberikan beberapa hal yang perlu diperhatikan. Menurutnya, komunitas atau lembaga tersebut perlu proaktif dan cermat.
Pertama, hal yang menurutnya perlu diperhatikan adalah kesesuaian kebutuhan. Pihak yang mendapatkan penawaran perlu memastikan suatu program CSR benar-benar sesuai dengan kebutuhan nyata komunitas, bukan hanya program titipan perusahaan.
"Jadi program CSR itu harus datang dari suara masyarakat agar sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Program yang diberikan tepat sasaran dan tepat guna," terangnya.
Kemudian, Pia mengingatkan soal keberlanjutan program. Masyarakat atau komunitas perlu menanyakan apakah program tersebut berlangsung terus, apakah ada pelatihan atau transfer knowledge, dan apakah ada rencana jangka panjang.
"Program CSR sebaiknya merupakan program yang berkelanjutan, bukan hanya sekali bikin lalu tidak jelas kelanjutannya apa," tegasnya.
Selanjutnya, ia mengingatkan perlunya transparansi dan komunikasi. Maka harus jelas apa yang akan diberikan dalam program CSR tersebut, siapa penanggung jawabnya, siapa yang terlibat, dan bagaimana evaluasinya.
Keempat, hak dan kewajiban kedua pihak. Pia menuturkan, komunitas juga perlu tahu apakah ada tanggung jawab yang menyertai suatu program CSR, misalnya pelaporan; partisipasi aktif; atau penyediaan SDM lokal.
Terakhir, Pia mewanti-wanti agar komunitas tak semata-mata tergiur dana.
"Nilai kebermanfaatan jangka panjang lebih penting daripada insentif sesaat," pungkasnya.
(https://www.detik.com/edu/edutainment/d-7877123/smk-hadapi-tantangan-pembelajaran-permintaan-industri-bisakah-csr-jadi-solusi)
Komentari Tulisan Ini
Artikel Terkait

Pemkot Balikpapan dan TNI Keruk DAS Ampal, Antisipasi Banjir Besar Jelang Musim Hujan di Jalan Beller dan MT Haryono
Jum'at, 09 Mei 2025

Ratusan Pekerja di Balikpapan Kena PHK, Proyek Startegis Nasional Rekrut Tenaga Kerja Outsourcing
Jum'at, 09 Mei 2025